Aku mencintai seorang
wanita yang sedang dirundung sepi. Wajahnya yang muram menyiratkan kehidupannya
yang kelam. Wanita itu pencinta puisi dan pengagum Sapardi. Dari bibirnya yang
mungil akan selalu mengalun lagu-lagu dari puisi Sapardi, terutama Hujan Bulan
Juni.
Dari sudut sini, aku
suka memandangi wanita yang setiap hari memakai terusan berwarna putih itu.
Rambut sebahunya bergelombang dan kedua matanya seakan memancarkan cahaya
kebahagiaan bagi siapa saja yang melihatnya. Di tangan kanannya selalu
tergenggam bolpoin dan di mejanya selalu terdapat kertas-kertas yang
berserakan. Aku dapat bertaruh bahwa itu adalah puisi. Entah puisi karyanya
ataupun puisi karya Sapardi.
Sejak kali pertama aku
datang ke sini, wanita itu telah merebut seluruh perhatianku. Maka, aku
bertanya pada salah satu pelayan mengenai nama wanita tersebut. Sayangnya, sang
pelayan pun tak dapat memberiku informasi yang cukup mengenai wanita itu.
“Ia
hanya bilang, ‘aku wanita tanpa nama’,”
Misterius sekali kau,
wanita pengagum Sapardi. Makin tertambatlah hatiku ketika tahu kau baru muncul
di kafe ini sejak awal bulan Juni. Inginkah kau menjadi objek dalam puisi
Sapardi?
***
Kudorong pintu kafe
sehingga bunyi ‘cring’ dapat terdengar. Aku menjadi pelanggan setia kafe ini hanya
untuk dapat melihat sang wanita. Di luar hujan. Persis seperti puisi Sapardi.
Kukibaskan bias-bias air yang terdapat di lengan kemejaku. Lalu aku memandang
ke arah wanita itu.
Ia memejamkan kedua
matanya namun mulutnya mendendangkan puisi Hujan Bulan Juni. Seperti biasa.
Ekspresinya tampak damai walaupun matanya tak terbuka. Aku, entah mengapa,
tersenyum dibuatnya.
Oh, wanita pecinta
puisi dan pengagum Sapardi, ingin rasanya aku bercengkerama denganmu.
Menghabiskan waktu di tengah hujan yang mengguyur sore hari pada pertengahan
bulan Juni. Ingin aku menjadi tempat tumpahan cerita-ceritamu. Kau pasti punya
banyak cerita. Atau, setidaknya punya banyak puisi. Tapi aku tahu, kau tak
begitu suka berbagi. Maka, aku rela hanya dapat memandangi.
***
Ada yang berbeda dari
sore ini. Wanita itu tak menggumamkan lagu Hujan Bulan Juni, apalagi sampai
mendendangkannya dengan jelas. Mulutnya tertutup rapat seperti ada sesuatu yang
menghalanginya. Aku memandang ke luar jendela. Apakah karena bulan Juni ini tak
menurunkan hujannya?
Wanita itu mendiamkan
secangkir kopi susu di atas meja yang terhidang spesial untuknya karena ia
salah satu pelanggan setia kafe ini. Wanita itu tak menghiraukan keadaan
sekitar. Beberapa pelayan yang kenal dekat dengannya mengkhawatirkan sikap
diamnya. Begitu pula denganku. Maka, kukerahkan seluruh keberanianku untuk
menghampirinya dan sekadar menyapanya.
“Selamat
sore,”
Ia hanya memandang
wajahku tanpa ekspresi dan perkataan apa pun. Aku dibuatnya salah tingkah.
Kedua bola matanya yang seperti mata boneka itu mengunci mataku.
“Tidakkah kau tahu
bahwa orang-orang di sekitar sini mengkhawatirkanmu; wanita pencinta puisi,
Sapardi, dan sepi?”
“Maukah kau mencurahkan
padaku apa yang membuat hatimu resah dan gundah?” Tanyaku sekali lagi.
“Kali ini, Juni tak
menumpahkan hujannya. Aku merindukan Sapardi,”
Aku mengerutkan kening.
Tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang ia katakan.
“Siapa itu Sapardi?”
Tanyaku. Bahkan sesungguhnya aku tak mengerti apa maksud pertanyaanku barusan.
Tentu saja Sapardi itu seorang penyair hebat, Bodoh!
“Masa laluku,” jawabnya
pelan sambil memejamkan mata dan menghirup udara dengan lembut.
Aku semakin tak
mengerti dengan wanita ini. Katanya, Sapardi adalah masa lalunya? Apakah ia
hanya berkhayal? Atau sekadar bergurau? Atau saking kagumnya ia pada Sapardi
maka ia membayangkan bahwa ia adalah bagian dari masa lalu Sapardi, atau
Sapardi adalah bagian dari masa lalunya?
“Sapardi membuatkanku
puisi. Hujan Bulan Juni. Puisi tersebut sangat indah dan menggugah. Sayang…”
“Sayang kenapa?”
Tanyaku. Dan aku merutuki sikapku yang terkesan sangat ingin tahu urusan orang.
Wanita itu menggeleng.
“Tidak apa-apa,”
Diam kembali
menyelimuti kami. Seorang pria yang jatuh cinta pada seorang wanita yang bahkan
tak dapat kupahami jalan pikirannya.
“Maaf, bisakah kau
tinggalkan aku sendiri? Aku penyuka sepi,”
Kumaklumi keadaannya
dan segera kutinggalkan ia tanpa pamit. Namun sembari berjalan menjauhinya,
kupungut serpihan-serpihan hatiku yang berserakan.
***
Desas-desus para
pelayan kafe seakan membangunkanku dari sebuah mimpi yang tak jelas arahnya.
Wanita pencinta puisi, Sapardi, dan sepi itu ditemukan mati di dalam kamar
mandi kafe pada akhir bulan Juni sembari memeluk buku Malam Wabah dan Pada
Suatu Hari Nanti.
No comments:
Post a Comment