Tiap
kali kita bertemu, kau tak pernah memandang ke arahku.
***
Tak perlu mengungkit
bagaimana bisa aku dapat mengetahui sosokmu, yang jelas sejak saat itu kau terkadang
hadir di benakku. Bahkan, tak ada seorang pun yang tahu mengenai hal ini
kecuali aku. Oh, aku sempat menceritakan tentangmu pada salah satu sahabatku.
Ya, hanya satu itu. Itu pun hanya sekali waktu karena saat itu kupikir aku
takkan pernah bertemu lagi denganmu karena gedung tempat belajarku berbeda dengan
gedung tempat belajarmu.
Tak tahu ini takdir,
kebetulan, atau hanya perasaanku. Akhir-akhir ini kau dan aku sering bertemu.
Ya, memang kau tak pernah sadar akan hal itu. Bagaimana bisa sadar kalau kau
bahkan tak mengenalku. Walaupun kita berbeda gedung, tetapi kadang aku melihatmu di berbagai sudut kampusku.
Ah, aku (terpaksa)
hanya bisa menjadi pengagummu. Tak pernah terlihat di matamu, tak tampak hadirnya
di sisimu, atau mungkin aku kasat mata bagimu?
Dulu, kali pertama itu
aku menganggap bahwa desir halus di dadaku itu tak serius seperti yang
lalu-lalu. Namun, sejak beberapa waktu terakhir ini berubahlah anggapanku itu.
Aku suka tersenyum
dalam hati jika mengingat jurusanmu. Jurusanmu adalah mata pelajaran yang amat
sangat benar-benar tak dapat sekali dipahami olehku. (Bahkan pemborosan kata
tak digubris olehku.) Semua teman yang hapal benar akan sifatku pasti mengetahui
pelajaran apa itu.
Ah, jikalau kau memang
takdirku, ya tak satu pun hal dapat dilakukan olehku. Aku hanya bisa sesekali
menunggumu di kampus A sembari berharap kau melihat ke arahku dan sadar siapa
aku.
Sudahlah, lama-lama
gaya menulisku sudah seperti Djenar Maesa Ayu, yang di setiap huruf akhirnya
pasti saling berpadu.
Note :
Untuk kau yang berinisial F.
No comments:
Post a Comment